YUT TOMAT REPRESENTASI DARI KEKUASAAN HUKUM LARVUL NGABAL ?

YUT  TOMAT

Salah satu dokumen historis yang saya jadikan acuan dari tulisan ini adalah catatan dari Pastor Yan van den Bergh M.S.C. ( Misionaris awal Gereja Katolik di Kepulauan Kei):
“ … Nog wordt de nagendachtenis van Dewa in eere gehouden. Nabej het dorp Letfoean , op de plek waar eertijds de kampomg gelegen was, op een steile heuvelhelling, staat nog zijn gedenkteeken. In een fraai, afgewerkt houtenhuisje staan daar twee uit zeer hard hout gesneden beelden, ongenveer 75 c.M. hoog, voorstellence Dewa en zijn gemalin Did-rat-ngil . Beide helden-figuren zijn getrouw naar de natuur uitgebeel en…..behoorleijk aangeleed ; Dewa met een schaamgowerdel en zijn ega met een sarong. Dewa toch leerde den wilden Keieezen het eerste hun schaamte te bedekken. Hij is verder voorgesteld met zijn zwaard, soeroek, het zinnebeeld zijner macht. In he hand. Ook hij toch is de groote Rechter, die ook het zwaard niet draagt als ijdel vertoon, doch met God-Rechter de overstreders der door hem ingevoerde adat blijft wreken. Hij wordt hier vereed onder den naam van Joet-tomat, de man van’t verbodsteeken. Hij toch stelde ook het verbodsteeken –joet of joetoet of hawear in ter bescherming van lijf en goed, ten behoeve der aanhangers zijner leer.
Zie hier nu, hoe Dewa er toe kwam, die niewe adat in te voeren, waarop hij tevens zijn wereldlijke macht zou grondvesten. ( H.Geurtjens,M.S.C. dalam buku “ Uit Een Vreemde Wereld of Het leven En Straven Der Inlanders Op De Kei-Eilanden”, Teulings’ Uitgevers-Maatschappij’s Hertogenbosch; 1921; halaman 180 ).

(Agar lebih memahami makna dan “pesan” yang tersirat dalam kutipan diatas, saya berusaha memuat terjemahan yang mungkin tidak sempurna dan diharapkan saudara yang lebih paham bahasa Belanda kiranya bersedia mengoreksinya. Trims. )

“ siang malam oranng membicarakan tentang Dewa dengan rasa hormat. Dekat kampung Letfuan, diatasnya terdapat sebuah “ dataran “ . Di tempat itu dibangun/terletak kampong tersebut, diatas sebuah bukit bertebing curam. Disitu dibagun sebuah rumah kayu yang indah dan disana berdiri dua patung dari kayu keras berukuran kurang lebih 75 C.M. panjangnya. Terlihat di situ pasangan Dewa dan istrinya Did Rat Ngil , keduanya sangat kontras dengan alam disekitarnya. Sesuatu  yang sangat serasi. Dewa mengenakan  celana(penutup kemaluan) dan istrinya mengenakan sebuah kain sarung. Dewa menggunakan pakaian yang menggambarkan pakaian orang Kei terdahulu. Selanjutnya ia berdiri sambil memegang “ Suruk “ , lambang kekuasaannya. . Begitu pula hukumnya yang besar yang seterusnya dihadirkan dengan lambang tombak tersebut. Oleh sebab itu pelanggaran terhadap hukum adat, – yang dianggap sebagai hukum dari Tuhan,  diadili berdasarkan hukum adat tersebut. Simbol larangan dari hukum tersebut diberi nama “ YUT TOMAT “ , sebuah larangan bagi manusia yang mengandung pengertian – Yut atau yutut atau hawear yang berarti larangan yang menjamin hidup dan kebenaran bagi yang mentaati ajarannya.

Pada masa itu Dewa bembawa suatu hukum baru , begitu pula kekuasaanya di bumi kei.

( H.Geurtjens,M.S.C. dalam buku “ Uit Een Vreemde Wereld of Het leven En Straven Der Inlanders Op De Kei-Eilanden”, Teulings’ Uitgevers-Maatschappij’s Hertogenbosch; 1921; halaman 180 ).

MEMAKNAI FENOMENA YUT TOMAT

1 “ Yut  Tomat , bentuk pengilahian kosmis ? ”

Yut Tomat adalah salah satu wujud dari penghayatan akan wujud Ilahi yang dipersonifikasikan dalam wujud patung. Lar Vul Nga Bal sebagai suatu norma moral masyarakat Kei, begitu mengikat perlilaku setiap individu dengan sangsi moralnya, sehingga diyakini bahwa hukum Laar vul Nga Bal memiliki kekuasaan yang mengatasi manusia,  mengatur tertib sosial dan tertib kosmis/alam .  Selanjutnya dihormati bagaikan pribadi yang melindungi, sekaligus sebagai kekuasaan yang menghukum siapa saja yang tidak melaksanakan kehendak hukum tersebut. Muncul pengakuan bahwa hukum Lar Vul Nga Bal adalah kekuasaan gaib yang harus dihormat, sekaligus takuti dengan julukan “ Dewa Nga Bal “.

Pada masa kekuasaan Kerajaan Ohoiwur, setiap pelanggaran terhadap hukum adat Larvul Ngabal dikenai sangsi adat. Entah itu perbuatan asusila, pencemaran keluhuran perkawinan, pembunuhan atau pelanggaran apa saja, harus ditetapkan sanksinya oleh penguasa adat setempat , entah  raja atau kepala kampung. Menurut ceritera yang diperoleh dari penuturan lisan keluarga, bahwa pada masa itu setiap bentuk pernyataan silih atas dosa pelanggara hukum adat, baik itu berasal dari upacara “Sob Lor”(upacara pemulihan secara komunal kampung, keluarga), ataupun secara pribadi harus disampaikan, dilaksanakan di hadapan patung Yut Tomat.

Muncul pertanyaan : Yut Tomat adalah fenomema apa? Apakah suatu bentuk penghormatan kepada leluhur ataukah wujud dari kepercayaan yang lazim pada Kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha masa lalu? Karena raja diyakini sebagai penjelmaan Dewa yang menguasai kehidupan, maka muncul pertanyaan lain : Mengapa upacara semacam”penyembahan” dilaksanakan dihadapan patung Yut Tomat? Apakah ritual di hadapan Yut Tomat tidak lebih dari pelestarian animisme dan dinamisme?

Rahmat Subagya ( alias : Dr. J.M.W. Bakker S.J.) menyebut cara penghayatan seperti itu sebagai  “ Keilahian Kosmis ” dari Agama Asli . Pada halaman 70  dari buku Agama Asli  Indonesia, dikatakan :

Yang Gaib,  yang tak kelihatan itu diundurkan oleh pengganti-Nya yang menguasai ruang muka dan yang dalam pandangan manusia lebih gemerlap. Para pengganti entah badan angkasa, entah roh halus, atau arwah nenek moyang, dianggap sebagai pengantara yang mempunyai urusan dengan manusia. Ini tidak dengan sendirinya berarti politeisme atau syirik. Adanya Tuhan yang Esa tidak disangkal, hanya dianggap tidak relevan bagi manusia. Dalam hal badan angkasa(langit,matahari), maka itulah yang pertama-tama dipandang sebagai  lambang keilahian, tetapi lambang menggeserkan Dia yang dilambangkan”  

 Selanjutnya pada halaman 73 dikatakan :

“ Kekuasaan yang mengatasi manusia dianggap sebagai pribadi atau berbagai pribadi.  Anggapan itu terutama menerangkan asal-usul dunia dan manusia; lantas subur dalam penciptaan mitologi yang aneka warna. …..Di Kepulauan Aru,Kei dan Tanimbar terdapat kepercayaan kepada Dewa Langit atau Matahari; Dewi Bulan dan Bumi. Secara samar-samar mereka dipersatukan dalam “ Duad Ler Vuan “  

Dalam tulisan ini , kami cenderung menyebut kepercayaan masyarakat Kei sebelum mereka menganut agama monoteis seperti Kristen dan Islam dengan istilah “ Keilahian Kosmis/alam” atau lebih akrab dengan istilah “ Agama Asli ” terminologi yang digunakan oleh Dr.Y.M.W.Bakker S.J.

Animisme adalah kepercayaan bahwa alam raya dan segala makluk mempunyai jiwa atau roh yang menghuninya. Animisme tidak memberi tempat pada pengakuan akan adanya Sang Ilahi yang mengatasi alam . Ruang lingkup Animisme terbatas pada kekuatan, kekuasaan alam itu sendiri.

Sedangkan upacara ritual di hadapan Yut Tomat menunjukkan bahwa masyarakat yang melakukan upacara itu menggantungkan hidupnya kepada sang dewa.

Sejauh mana masyarakat Kei pada masa itu memiliki penghayatan akan adanya Sang Ilahi dibedakan dengan illah-ilah bumi, secara samar-samar terungkap dalam istilah “ Duad Hukum” (Tuhan dan hukum) , “Duad Nit ” ( Tuhan dan para Arwah) . Bahkan ada juga istilah  “ Duad Karatat ”( Tuhan yang tinggi, ada di tempat yang tinggi) dan “duad kabav “ ( kekuasaan yang rendah, yang mengatur manusia di dunia bawah/bumi seperti: Arwah Leluhur, orang tua, para pemimpin). Dengan istilah-istilah itu orang Kei mengungkapkan bentuk penghayatan akan tingkatan wujud ilahi . Ada pemahaman akan perbedaan antara  Tuhan Maha Kuasa  dengan ilah-ilah yang muncul dari penghayatan kosmis. Sang Ilahi (Duad=Tuhan) masih samar-samar karena digantikan dengan penghayatan akan kekuasaan bumi seperti para arwah, kekuasaan gaib dari hukum, dan pemimpin masyarakat yang sangat dihormati .

Memang saking samar-samar dan sederhana pola pikir masyarakat pada masa itu , maka muncul kesan ada penyetaraan antara Tuhan dan kekuatan alam gaib . Praktek ritual di hadapan patung Yut Tomat jadi dipertanyakan oleh orang beriman kepada Tuhan karena hidup manusia seakan sangat bergantung dari kekuatan gaib yang direpresentasikan oleh patung Yut Tomat. Dari kekaburan inilah

Menurut pemahaman kami, penghormatan kepada Yut Tomat yang dikaitkan dengan kekuatan gaib dari hukum Lar Vul Nga Bal ( disebut juga dengan istilah Dewa Nga Bal ), adalah bentuk agama kosmis agama asli Kei , yang merupakan bentuk awal menuju penerimaan akan Allah yang Esa, Maha Besar. Namun, kiranya sebagai orang yang menganut agama yang monoties, penghormatan kepada Yut Tomat hanya dapat dibenarkan atau diterima sebagai sesuatu yang mempunyai fungsi positif, sejauh orang yang menghormatinya dapat dibimbing untuk menemukan pewahyuan Allah sebagaimna diwartakan oleh para nabi.

2.       YUT  TOMAT  adalah “ DUAD HUKUM “ ?

Ada yang hidup dalam benak masyarakat Kei masa lalu , yaitu konsep “ Duad Hukum”. Apakah Yut Tomat adalah representasi dari konsep “duad-hukum”? Dari kisah sejarah perkembangan gereja katolik di Kei, kepercayaan masyarakat  terhadap kekuatan gaib tersebut dapat kita telusuri dalam berbagai peristiwa. Salah satu contohnya terungkap dalam peristiwa penyembuhan dan pembaptisan Sakbau,  seorang anak putri dari Langgur yang kelak dibaptis dengan nama Maria Sakbau dan menjadi umat Kristen pertama di Kei . Pasa bulan Juli 1889 wabah kolera berjangkit di Langgur dan berbagai tempat di kepulauan Kei. Pastor Yohanes Kusters S.J. membutuhkan persetujuan masyarakat Langgur sebelum memberikan bantuan medis. Tawaran Misionaris Katolik itu dijawab oleh kepala kampung Langgur :“ O, jangan dijawab ya begitu saja. Sebab nanti para mitu, dewa pelindung seperti dewa Kawod, Dewa Tanil, dewa Ngabal tentu akan marah kepada kita. Bayi-bayi itu milik para dewa. Sekarang mau diserahkan kepada tuan Kuster ?….  usul seorang bijak : saya usul supaya bayi itu dibawa kehadapan tuan Pastor Kusters agar dipermandikan. Kalau bayi itu hidup, itu  berarti bahwa Dewa yang diimani tuan Pastor itu lebih kuasa daripada Dewa pencabut nyawa……… ” .

Dari contoh sederhana ini kita ketahui bahwa pada masa itu  pengakuan akan kekuatan gaib merupakan salah satu unsur pengungkapan diri di dalam adat-istiadat Kei. Mereka disebut Dewa/para Dewa. Bentuk kepercayaan  itu begitu kuat berakar dalam kehidupan masyarakai Kei di berbagai kampung, sehingga sangat sulit menghilangkannya sampai awal abad 20-an.

Kita cermati sebuah contoh pergulatan masyarakat kampung Letfuan sebagaimana dikisahkan dalam buku Ceritera Sejarah Gereja Katolik di Kei dan Irian Barat . Perjuangan panjang penuh kesabaran dari para Misionaris Katolik seperti berikut ini :

Para misionaris ( Pastor Yohanes Kusters SJ dan Pastor Yohanes Booms SJ)setelah tiba di Tual tanggal 1 Juli 1888, mereka bulan Juli 1888 itu juga mengunjungi Letfuan salah satu desa yang menjadi prioritas dikunjungi sebelum datang ke desa-desa lain ( halaman 14). Bulan Pebruari  1889 kungjungan ke dua oleh kedua misionaris, belum membawa hasil ( halaman 15 ). Pada bulan Oktober 1899 , Pater van der Heyden mengunjungi kampung Letfuan. Masyarakat belum tersentuh oleh pelayanan para misionris, sehingga belum ada tanggapan yang baik bagi misi katolik.( halaman 73 ). Maret 1902 , Pastor Bijsterveld mengunjungi Letfuan , tetap tidak ada hasil. Dan tanggal 7 – 18 Mei 1902  dikirim guru Daniel Maturbongs ke Letfuan, namun hati masyarakat kampung ini masih tertutup ( halaman 78 ). Tahun 1907, Pastor H.Geurtjens ( penulis laporan historis yang menjadi sumber data penulisan ini ) menetap di stasi Namar dan beberapa hari kemudian  mengunjungi Letfuan. Sekali lagi orang kampung Letfuan belum  menerima. Tahun 1909, Pastor Smits mengunjungi lagi kampung Letfuan. Awalnya masih tetap ada penolakkan. Namun beberapa hari kemudian mulai muncul fajar cerah setelah muncul niat 20 anak yang didukung orang tuanya menyatakan masuk sekolah misi. Pastor Smits menanggapi dengan mengirim Petrus Dumatubun mengajar di sekolah yang dibangun misi di Letfuan( halaman 135). Apakah sulitnya orang kampung Letfuan menerima masuknya Agama Kristen disebabkan pengaruh kepercayaan akan kekuasaan para dewa dalam konsep “duad hukum”?

Dari pemahaman  tentang agama asli Indonesia seperti ditulis oleh Dr.Y.M.W.Bakker S.J. tersebut diatas, dapat dimengerti mengapa nenek moyang dari Bali yang dikenal dengan nama “Dewa atau Kasdew” cenderung personifikasikan sebagai Sang Ilahi. Perlu kami sebutkan di sini bahwa tempat/kampung dimana “Dewa” dan Dit Rat Ngil istrinya menetap, bernama “Woma Rer atau Woma Ler”( kampung Matahari). Dan kampung yang berada disamping Woma-Ler, bernama ‘ Let-vuan “( jembatan bulan ). Kampung Letvuan sering disebut juga “ Let-fuan”(jembatan kematian).  Dari ceritera kaum tua-tua di kampung Letvuan bahwa pada masa patung Yut-Tomat masih ada, orang dari berbagai kampung di kepluauan Kei datang ke situ untuk melaksanakan upacara adat pemulihan dosa dan lainnya. Yut Tomat seakan menjadi sentrum upacara ritual adat di kepulauan Kei pada masa itu (seandainya ceritera ini benar).

Selanjutnya kita patut bertanya: apakah kepercayaan terhadap “Duad ler Vuan” dalam religiositas asli masyarakat Kei dihadirkan dalam perlambang Patung Yut Tomat ?

Pada uraian dari Rachmat Subagya tersirat bahwa Orang Kei secara samar-samar mempersatukan wujud-wujud ilahi dalam konsep “ Duad Ler-Vuan “ sebagaimana juga dicatat oleh Pastor H.Geutjens. Menurut penafsiran saya (yang sifatnya masih hipotetis),  dalam arti tertentu terkait erat dengan  locus (tempat/kampung) dimana patung Yut Tomat ditempatkan yaikni nama kampung Woma- Rer ( juga dikenal dengan nama Woma Ler) dan Let-Vuan(Letvuan, nama lain dari Letfuan). Hukum Lar Vul Nga Bal dicanangkan di Woma Rer (Woma Ler), notabene pusat kekuasaan kerajaan Ohoiwur, yang mempelopori perubahan tata social budaya, terutama dalam aspek hukum di tanah Kai (Evav).

Dikisahkan bahwa nenek-moyang (pendatang) dari Bali tersebut membawa “ Terang” di tanah Evav yang masih “gelap”, yakni menerapkan nilai-nilai kehidupan yang baru. “Dewa” , dari pulau Bali, telah hadir di tanat Evav nan indah. Dilatarbelakangi oleh kekhasan Hinduisme Bali, beliau mengilhami , memperkaya dan memperkuat nilai-nilai peradaban Kei yang telah dimiliki oleh kelompok-kelompok masyarakat setempat.

Pengaruh Hiduisme Bali bercampur dengan paham “keilahian kosmis” masyarakat setempat memunculkan interpretasi masyarakat Kei pada masa itu bahwa ketaatan pada kekuasaan “Duad-Hukum” dimanifesttasikan dalam berbagai bentuk ritual dihadapan patung Yut Tomat.  Menurut penuturan orang tua, orang yang hidup sesuai dengan hukum adat, pasti selamat dalam perlindungannya. Sebaliknya mereka yang melanggar hukum adat harus membayar denda demi pemulihan secara adat dan dipersembahkan di hadapan patung Yut Tomat. Bagi masyarakat yang melakukan pelanggaran berat dihukum mati dengan ditenggelamkan di laut atau dibunuh.

Pada masa hukum Larvul NgaBal difungsikan sebagai perekat “ain ni ain”(saling memiliki) antar masyarakat Kei dengan semboyan “ Foeng fo kut, fau fo banglu watu ”, stabilitan kehidupan social sedikit demi sedikit berangsur membaik dan persaudaraan semakin kuat.

Kita tidak bisa mengingkari sejarah Kei bahwa dalam perkembangan selanjutnya, setelah kematian Dewa serta keturunannya raja Tebtut dan raja Kuding, kekacauan kembali terjadi ditandai oleh persaingan antar para Halaai (raja-raja local) di kepulauan Kai dalam perang antar kelompok Ur Siu melawan kelompok Lor Lim. Pada abad ke 20-an ini “dirasakan” oleh sebagian generasi Kei sekarang bahwa telah muncul berbagai kemerosotan moral dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Gejala ini terbaca pada tulisan-tulisan dan ungkapan pendapat di berbagai media internet. Terlepas dari penyebab obyektif(sesungguhnya) dari gejala kemerosotan teresebut, satu hal yang saya cermati adalah hasrat bersatu membangun masyarakat Kei yang lebih baik berdasar nilai-nilai adat Kei.  Dalam situasi sulit seperti itu masyarakat senantiasa mendambakan penghayatan dan penerapan hukum adat Larvul Ngabal sebagai perekat persaudaraan dan penjamin kedamaian hidup bersama yang dibagun berdasar pada pengakuan hak-hak pribadi, keluarga dan kelompok.

KESIMPULAN

pertama,

Perilaku masyarakat dalam berbagai bentuk pengohormatan terhadap hukum adat Larvul Ngabal dihadapan patung Yut Tomat, berdampak positif mapun negatif. Setelah era kerajaan Ohoiwur, peranan agama-agama Kristen (Katolik dan Protestan), Islam semakin nampak dan sungguh mengubah pola pikir dan perilaku masyarakat Kei. Dalam diri masyarakat Kei yang sudah menganut iman akan Tuhan yang Esa seperti penganut agama Kristen (Katolik dan Protestan) dan Islam, terjadi semacam ketegangan antara dua pilihan yakni terus hidup menurut kepercayaan asli atau konsekwen dengan ajaran agamanya . Mereka harus memilih salah satu yaitu percaya kepada Tuhan atau percaya pada para dewa. Ketegangan tersebut sampai pada klimaksnya adalah patung Yut Tomat dihancurkan (dibakar di dalam sebuah tempat ibadat) oleh orang-orang yang menganggapnya sebagai pelestarian penyembahan berhala.

kedua,

Perlu dilihat dari sisi lain bahwa Yut Tomat adalah salah satu warisan sejarah budaya, peninggalan budaya Hinduisme yang berbaur dengan Kepercayaan Kosmis di kepulauan Kai. Segala bentuk ekspresi nilai-nilai agama dan budaya perlu kita hormati keberadaanya dari sudut pandang historis, sosio-budaya.  Berilah “ruang” kepada proses inkulturasi nilai-nilai budaya asli dalam hidup beriman, agar tumbuh secara wajar dengan semangat toleransi antar umat beragama dan aliran kepercayaan.

Marilah kita bersikap sebagaimana tercatat dalam sejarah bangsa-bangsa di dunia bahwa biarpun menganut iman akan Tuhan yang Esa, toh mereka tetap memelihara warisan kepercayaan nenek moyang mereka yang bersifat kosmis. Sebut saja sebagai contoh,  masyarakat Meksiko yang mayoritas Katolik,  secara sadar melestarikan dan merawat dengan baik nilai-nilai budaya Astek(Indian) dengan segala bentuk peninggalannya. Masyarakat Mesir yang mayoritas muslim merawat dengan baik Piramida dan patung Spink. Masyarakat Islam, Kristen, Hindu dan Budha di tanah Jawa dan Bali serta pulau-pulau lain, mejaga dengan baik warisan kerajaan Hindu dan Budha di masa lalu berupa candi dengan acra-arca di dalamnya, prasasti serta benda-benda peninggalan sejarah lainnya.

ketiga,

Mumcul pencerahan baru, Proses Inkulturasi

Kompleks bagunan dan Patung Yot Tomat di sebelah utara kampung Letvuan(Letfuan) telah dipugar kembali sejak tahun 1980–an dan dalam “pengertian proses inkulturasi” pihak Gereja tidak keberatan akan hal itu. Terbukti bahwa bahwa pada saat renovasi kompleks Yut Tomat, diadakan misa di kompleks itu untuk mohon keselamatan bagi para Leluhur dan pengampunan.

keempat,

Kiranya melalui refleksi cultural historis yang mendalam, Yut Tomat diterima sebagai salah satu peninggalan sejarah kebudayaan Kei dan tidak lagi disikapi secara berat sebelah dari sudut pandang Iman. Untuk membangun sesuatu yang baik, tidak mutlak dengan cara menghancurkan yang lain, termasuk sesuatu yang memiliki nilai historis cultural.

Data Pustaka :


1.      Rachmat Subagya(Dr.Y.M.W Bakker S.J.); Agama Asli Indonesia; Yayasan Cipta Loka Caraka; Jakarta;  1981,halaman 70 , 73

2.      H.haripranata S.J.;Ceritera Sejarah Gereja Katolik di Kei dan di Irian Barat, Halaman 18

Nara Sumber Lisan :

1.      Orang Tuaku kaka-adik : Raimundus Inuhan dan Leonardus Inuhan.

2.      Alm. Petrus Kanisius Rumlus.